[Inovasi Riset Perikanan]
Biokonversi Limbah Organik Mendukung Pakan Ikan Mandiri
Jakarta, 24/8. Komponen pakan menempati porsi tertinggi dalam budidaya ikan, berkisar hingga setidaknya 60% dari total biaya produksi. Untuk menurunkan biaya pakan tersebut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong pemenuhan kebutuhan bahan baku lokal melalui Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI).
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, M. Zulficar Mochtar menyampaikan bahwa salah satu upaya riset mendukung GERPARI tersebut adalah inovasi riset penyediaan bahan baku pakan ikan alternatif dari maggot Black Soldier Fly (BSF) yang dihasilkan dari proses biokonversi limbah organik.
“Inovasi riset ini merupakan sumbangan karya, kinerja, inovasi KKP kepada masyarakat, yang telah secara nyata memberikan kontribusi dan manfaat. Kami mendorong seluruh riset yang dilaksanakan di KKP bisa diaplikasikan, memberikan dampak dan perubahan yang baik. Ini menjadi inspirasi dan contoh bagaimana riset untuk ikut langsung menjawab persoalan yang ada di masyarakat”, ujarnya.
Inovasi ini merupakan hasil riset Dr. Melta Rini Fahmi - Peneliti Balai Riset Budidaya Ikan Hias yang telah dimulai sejak tahun 2005 yang lalu. Pada awalnya biokonversi dilakukan pada bungkil kelapa sawit. Namun seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk menghasilkan maggot, hal tersebut menyebabkan naiknya harga bungkil kelapa sawit, sehingga pada tahun 2008 riset biokonversi ini sempat tidak berlanjut. Namun mahalnya bungkil kelapa sawit justru membawa Melta untuk akrab dengan limbah organik dari rumah tangga dan restoran yang saat ini menjadi bahan baku utama riset biokonversi yang terus dikembangkannya.
Berbeda dengan bungkil kelapa sawit, limbah rumah tangga akan selalu ada, dan proses biokonversi tidak hanya menghasilkan maggot dan pupuk, namun sekaligus menjawab permasalahan sampah di perkotaan.
“Sampah limbah organik tidak akan mengalami kekurangan bahan baku, selama masih ada aktifitas manusia di dunia, bahan baku tersebut akan tetap tersedia,” kata Melta.
Maggot yang dihasilkan akan merombak, mengektrasi serta mengkonvensi nutrien yang masih tersimpan di dalam limbah organik sehingga akan didapatkan nutrien dalam bentuk yang baru, yakni pupuk organik dan maggot sendiri yang dimanfaatkan baik sebagai pakan ikan maupun bahan baku pakan ikan. Pada uji coba di Balai Riset Budidaya Ikan Hias, ikan koi yang diberi pakan maggot memijah 4 kali dalam periode yang sama dibanding dengan ikan yang diberi pakan pelet.
Biokonversi menggunakan maggot memiliki keuntungan dapat dilaksanakan dengan investasi yang rendah, dimana dalam memproduksi magot ini tidak membutuhkan air, listrik, bahan kimia, serta dapat menggunakan infrastruktur yang sederhana.
Selain itu, pemanfaatan maggot ini juga sangat ramah lingkungan karena mampu mendegradasi limbah organik menjadi material nutrisi lainnya. Kemudian keuntungan lainnya adalah pengelolaan limbah dengan maggot ini dapat diperluas dalam skala industri seperti pemrosesan tepung maggot.
Tahapan biokonversi limbah dengan larva BSF ini disampaikan Melta dapat diterapkan dengan dengan mudah, bahkan telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat luas. Telur BSF, yang dapat diperoleh di Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok, diletakkan pada limbah organik. Telur tersebut dalam 3 hari akan menjadi larva yang dalam 2 pekan berikutnya akan mengurai limbah yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik.
Melta mencatat 150 gram telur BSF (Rp 8 ribu/gram) dapat mengurai 2 ton limbah organik dalam waktu 2 s.d. 3 pekan. Ini lebih cepat dari proses membuat pupuk kompos secara konvensional yang membutuhkan waktu tidak kurang dari 3 bulan.
Proses biokonversi ini akan menghasilkan 220 s.d. 250 kg maggot dengan harga jual berkisar dari 15 s.d. 20 ribu rupiah per kilogram nya, serta 100 s.d. 150 kg pupuk organik dengan harga jual 1500 s.d. 2000 rupiah per kilogram.
Proses biokonversi yang tidak hanya mengelola limbah organik namun juga menghasilkan nilai ekonomi ini diterapkan oleh Pemerintah Kota Depok. Ini turut memberikan kontribusi diperolehnya penghargaan Adipura oleh Kota Depok yang mengaplikasikan program biokonversi dengan menggunakan limbah organik secara massal.
Melta menjelaskan,”Tahun 2017 ini, Balai Riset Budidaya Ikan Hias telah menggandeng Pemerintah Kota Depok untuk bekerjasama dalam program biokonversi secara massal dan sosialisasi menggunakan limbah makanan. Pada pilot project nantinya akan melibatkan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) serta insectarium, dan membuat tepung serta bahan baku pakan formula.”
Tahun mendatang, program biokonversi akan dikembangkan secara luas, dijelaskan Melta, ”Tahun 2018 nanti, program biokonversi akan mengaplikasikan pakan maggot untuk ikan konsumsi maupun ikan hias, dan tahun 2019, akan diproduksi dengan melakukan labeling ke berbagai jenis pakan ikan berbasis magot”.
Dengan inovasi riset biokonversi limbah organik ini pada tanggal 17 Agustus 2017 lalu Melta mendapatkan penghargaan Satya Lencana Wira Karya - Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2009 telah mendapatkan pengakuan paten internasional dari World Intellectual Property Organization atas karyanya yang berjudul Production of Live Insect ‘Mini-Larvae’ and Use Thereof for Feeding Aquarium Fish, Alevins of Farm Fish and Pets. Adapun saat ini Melta sedang dalam proses mendaftarkan invensi ini ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan hak paten.
Narasumber:
M. Zulficar Mochtar, Kepala BRSDM
Dr. Idil Ardi, Kepala Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok
Dr. Melta Rini Fahmi, Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Depok
Informasi lebih lanjut :
Subbag Humas, Sekretariat BRSDM
Email : humas...@kkp.go.id , humas...@gmail.com
Telp : (021) 3513300 ext : 6289/6696
Hp : 0811 800 736
#Menuju Negara Maritim yang Mandiri dan Berdaulat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar