Pendahuluan
Geodinamika sebagai cabang keilmuan dari geologi memegang peranan penting untuk mengungkap potensi sumber daya yang berada di bawah perairan laut dalam (deep sea) ataupun dasar laut (seafloor). Konsep klasik tentang tatanan tektonik lempeng dunia (plate tectonic) yang berkembang pada pertengahan abad ke-20, pada saat ini semakin berkembang pesat bersamaan dengan perkembangan teknologi instrumentasi kelautan abad ke-21.
Kawasan laut dalam (kedalaman > 200 m) di Indonesia, berada di Kawasan Samudera Hindia Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa, serta Perairan Kawasan Timur Indonesia. Kawasan Timur Indonesia ditempati oleh dua pulau besar yaitu Sulawesi dan Papua serta gugusan pulau kecil yang terdiri dari Kepulauan Banda Selatan, Kepulauan Sunda Kecil (Nusatenggara), Maluku dan Halmahera, memiliki tatanan tektonik dan kondisi geodinamika aktif.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mengedepankan program Poros Maritim Nusantara, pembangunan kelautan nasional akan menjadi fokus utama. Karena itu, hasil penelitian potensi sumber daya laut dalam dan kondisi geodinamikanya diharapkan dapat berkontribusi bagi pembangunan kelautan nasional Indonesia. Utamanya pada Kawasan Timur Indonesia.
Tatanan Tektonik Kawasan Timur Indonesia
Kawasan Timur Indonesia terbentuk melaui proses geologi yang sangat kompleks akibat dari konvergensi tiga lempeng utama yaitu Lempeng Benua Eurasia yang relatif stabil, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif ke barat, dan Lempeng Benua Australia yang bergerak relatif ke utara. Pergerakan Lempeng Eurasia sejak 100 juta tahun yang lalu hingga sekarang telah mengalami perputaran searah jarum jam. Pergerakan mengarah ke utara pada zaman Kenozoikum terlihat dengan ditemukannya liniasi magnetik lantai samudera (seafloor magnetic lineations) di selatan Samudera Hindia (Daly et al., 1987).
Pada Kala Miosen (23-5 juta tahun lalu), Kawasan Timur Indonesia mulai menunjukkan bentuk sebagai hasil interaksi tiga lempeng utama dengan peristiwa geologi yang terjadi berupa terbentuknya zona bukaan dan pembentukan ofiolit Neogen di utara Timor dalam lingkungan punggungan tengah samudera; serta ofiolit Neogen di bagian barat Seram terbentuk dalam konteks busur belakang. Pada Miosen Awal, terjadi tabrakan miring antara Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik, Filipina, dan Carolina membentuk sesar-sesar mendatar sinistral dan menyebabkan terfragmentasinya bagian Kepala Burung Papua, menghasilkan beberapa lempeng mikrokontinen Australia (Lee & Lawver, 1995; Hall, 2002; Permana, 2002).
Pada akhir Miosen ditandai dengan rotasi berlawanan arah jarum jam dari Pulau Seram menempati posisinya sekarang diikuti oleh obduksi Ofiolit dan pemalihan pada lempeng mikro Seram. Pada Kala Pliosen (5-2 juta tahun yang lalu), terjadi penunjaman ke utara dari kerak benua Australia dan ditandai oleh aktivitas gunungapi di sekitar busur Banda Selatan, Buru, dan Seram. Pada Kala Resen atau kondisi saat sekarang, Lempeng Pasifik bergeser ke arah barat-barat daya dengan kecepatan 95-100 mm pertahun, sementara Lempeng Australia bergerak ke arah utara-timur laut dengan kecepatan 72 mm pertahun (Benes & Scot, 1994; Hall, 2002; Wilson, 2002; Permana, 2002).
Potensi Sumber Daya Laut Dalam
Sumber daya laut dalam yang terkait dengan kondisi geodinamika aktif Kawasan Timur Indonesia adalah keterdapatan gunungapi bawah laut dan aktivitas hidrotermal. Tatanan tektonik yang memicu pembentukan gunungapi bawah laut dan aktivitas hidrotermal di Kawasan Timur Indonesia adalah adanya pola subduksi di bagian selatan dan akibat dari tumbukan ganda busur kepulauan (double-arc collision) di bagian utara, sekitar Lengan Timur Sulawesi dan Halmahera, yaitu tumbukan antara Lempeng Laut Sulawesi dan Lempeng Laut Maluku.
Potensi gunungapi bawah laut dan aktivitas hidrotermal di perairan Kawasan Timur Indonesia adalah sangat besar yang telah dibuktikan dengan ditemukannya Kompleks Gunungapi Bawah Laut Komba di sekitar Laut Flores-Wetar dalam Ekspedisi Bandamin kerjasama riset kelautan Indonesia-Jerman (Sarmili et al., 2003) dan aktivitas hidrotermal di sekitar Gunung Banua Wuhu dan Gunung Kawio di perairan Sangihe-Talaud melalui Ekspedisi IASSHA (Indonesia Australia Survey for Submarine Hydrothermal Activity kerjasama riset kelautan Indonesia-Australia pada tahun 2003 (Permana et al., 2003). Pada tahun 2010, Ekspedisi kelautan di perairan Sangihe-Talaud dipetakan kembali menggunakan teknologi Multibeam Echosounder beresolusi tinggi dan observasi bawah laut menggunakan Remotely Operated Vehicles (ROV) bertajuk Ekspedisi Index-Satal kerjasama lintas institusi riset kelautan Indonesia yang dipimpin oleh KKP dengan NOAA Amerika Serikat.
Dalam Ekspedisi Index-Satal 2010 ini, telah dilakukan pemetaan dasar laut menggunakan kapal Okeanos Explorer milik NOAA yang dilengkapi dengan peralatan Multibeam Echosounder Kongsberg Simrad EM302 untuk pemetaan dasar laut dalam. Peralatan ini dapat merekam data kedalaman laut hingga mencapai 7000 meter, menampilkan fitur dasar laut beresolusi tinggi (30 arcsecond), dan berhasil 2 memetakan + 38.549 km perairan laut dalam di sekitar kawasan Perairan Sangihe – Talaud, serta berhasil menemukan dan merekam gambar berdefinisi tinggi (high definition camera) dari gunungapi bawah laut Kawio Barat (Triarso et al., 2010) menggunakan ROV.
Berdasarkan hasil dredging sampel batuan Ekspedisi IASSHA 2003 (Permana et al., 2012), batuan Perairan Sangihe-Talaud berpotensi mengandung mineral dasar laut yang bernilai ekonomis tinggi, seperti mineral oksida logam.
(Rainer Arief Troa - Peneliti Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir)/Hdh
OLEH: BRSDMKKP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar